Bertaut Takdir

Tamu Ruang Tunggu

Dear Embun,

Purnama lalu ada berita baik tentang seseorang yang akan bertamu ke ruang tungguku. Betapa riangnya aku ketika itu. Kamu juga tahu kan? Hanya aku, waktu, dan rindu yang benar-benar ada di ruang tunggu ini. Kami bertiga sudah mempersiapkan jamuan sederhana untuk menyambutnya. Yang paling bersemangat adalah rindu. Ia sudah menyiapkan pakaian terindah, serbuk kopi arabika, dan berlembar kenangan yang akan ia ceritakan. “Biar sepi takdatang lagi ke sini,” katanya ketika memilah satu demi satu kisah dari koper kenangan yang sejak dulu tersimpan dalam gudang. Nampaknya rindu jauh lebih girang dariku.

Yang takbegitu terpengaruh adalah waktu. Sudah jelas-jelas kali ini berita tetang kedatangan tamu itu amat akurat. Ia tetap bergeming. “Paling sama dengan kejadian-kejadian lalu. Sudah disiapkan berbagai hidangan, sang tamu takpernah mengetuk, apalagi masuk,” katanya. Aku agak kesal juga dengan ketakacuhannya. Mungkin itu salahku juga, memberinya terlalu banyak fasilitas di ruang tunggu ini. Berbagai komik, video games, dan terakhir lemari es sudah aku belikan untuknya. Taksangka ternyata benda-benda itu membuat ia abai dengan perubahan yang terjadi di sini. Penantian taklagi membosankan buatnya. Sepi sudah takbisa mengganggunya.

Lalu aku? Nampaknya waktu lebih banyak memengaruhiku. Bukankah ia memang yang paling tepat untuk dijadikan sahabat? Kelebatan angan-angan taklagi terlalu sering datang ke sini. Yang aku lakukan hanya merapikan beberapa barang, menyirami harapan, dan mengusir keraguan. Walaupun sebenarnya takberani percaya pada apa yang akan terjadi, aku berusaha untuk membangunkan mimpi dan menghadirkan sedikit keyakinan. Sedikiiiit, amat sedikit. Sejujurnya aku takpunya keberanian.

Kemudian hari istimewa itu datang. Aku, waktu, dan rindu sama-sama menunggu di balik jendela yang ada tetap di samping pintu. Sosok itu benar-benar ada, mematung di depan puntu. Disembunyikannya sebelah tangan di belakang. “Dia membawa setangkai bunga mawar untukmu,” kata rindu. “Hush! Jangan asal menerka-nerka. Siapa tahu dia membawa sebilah pisau atau senapan berpeluru,” ujar waktu. Dalam perdebatan itu aku memilih bergerak menyalakan tape dan memutar sebuah lagu tentang jatuh cinta sebagai tanda bahagia menyambutnya.

Namun, setelah berjam-jam ditunggu, sosok itu takpernah mengetuk apalagi masuk. Ia berlalu bersama api cemburu akibat lagu cinta itu. “Kamu sih, belum apa-apa sudah menyetel lagu cinta. Bisa saja dia mengira di ruang tunggu sudah ada yang menemanimu,” ujar waktu sambil bersungut-sungut. Seperti kebal, ia takterlalu kecewa dengan ketertundaan. Diambilnya semangkuk eskrim yang selalu ia siapkan setiap ada berita kedatangan. Ia seperti sudah mempersiapkan diri menghadapi kegagalan. Kekecewaan sudah seperti rutinitas baginya. Ia berkali-kali menyadarkan diri bahwa taksetiap orang siap menerima kejenuhan ruang tunggu. Taksetiap orang bisa menerima betapa elastisnya waktu.

Kau ingin tahu kabar rindu? Ia berlari tergugu ke gudang sambil memeluk kenangan. Kisah-kisah yang sudah dipilihkan ternyata harus kembali disimpan. Ia sudah berkali-kali berusaha sabar menghadapi waktu yang mengajarinya membunuh angan-angan. Ia sudah sangat keras bersabar untuk takmenyimpan harapan. Kali ini ia harus kembali mengatasi kekecewaan. Lagi-lagi kopi arabika yang sudah disiapkan mesti kami habiskan bertiga.

Demikianlah yang terjadi setiap seorang tamu mengurungkan niatnya. Aku harus kembali mengatasi keapatisan waktu dan kecengengan rindu. Walaupun agak repot, ditemani mereka berdua lebih mending ketimbang diselinapi sepi. Soal lagu tentang jatuh cinta, itu adalah keputusanku. Rasa ini harus aku jaga agar takmati, walaupun pemiliknya belum aku tahu pasti. Perkara orang lain cemburu, itu bukan urusanku. Aku takpernah berniat memaksa siapapun mengetuk pintu ruang tungguku, apalagi untuk masuk. Aku takakan pernah meminta pencemburu itu kembali untuk menyimak penjelasanku. Aku takakan membiarkan orang lain membuatku patah hati sebelum jatuh cinta. Jika takingin masuk, pergi saja. Aku takmembutuhkannya.

Ada seseorang yang sedang aku tunggu. Aku sudah jatuh cinta kepadanya walaupun kami belum pernah bertemu. Aku masih menunggunya meski takseorangpun yang mengabarkan berita kedatangannya. Dia akan mengetuk pintu ruang tunggu dan kupersilakan masuk. Pada suatu waktu, entah kapan.[]

 

kucing-hujan

Dear , Langit

Sebuah penahanan diri apa itu sebuah pengorbanan takterbatas, indah walau merawankan . takhanya itu membendung segala prasangka dengan mengupayakan kebaikan dari falsafah sendiri. bila begitu ternyata benar cinta itu buta.

Sebuah pertemuan dalam takdir, sudah ada yang menentukan lebih dulu , segala hal yang bisa saja tertunda atau bahkan terputus , tapi tetap saja rancu bila dipaksakan bukankah takada yang bisa menghentikan waktu seperti daun yang jatuh , dan akan tetap jatuh karena dalam ketetapanNya daun itu harus jatuh.

Apapun itu , dulu ataupun kini pasti semua akan baik-baik saja. percayakan saja padaNya.

Previous Post
Next Post
Leave a comment

Leave a comment

Lazione Budy

'Saoirse' is not a word, it's angel

BatopieBlog

Ngeblog dengan Secangkir Susu Kopi

ngopi saja

pura-pura blogging sambil ngopi

Anne Adzkia

motherhood stories and life journey

Bakulrujak ngeBlog

Belajar saja.

Dr. Margono M. Amir

My true stories

wikfa.ushi

Hanya sesuatu yang berhasil ku untai

Langit Shabrina

dari senyap ruang tunggu tempat aku menemukan-Mu

langitanah

tentang waktu

langit LANGIT

seperti langit; bebas seperti tak berbatas, namun tetap menunduk pada-Nya

MUSE

Because i'm your home...

Ruang Sastra

Pusat Dokumentasi Sastra Koran Indonesia

mylittlecanvas

If you can imagine it, you can realize it

Salma Athiyyah

Welcome to my page, reader^^

arheinaoctaviani

A great WordPress.com site